Ditulis dalam rangka Pengabdian Pada Masyarakat desa Balunijuk 2014
Dahulu
desa Balunjuk merupakan bentangan hutan yang kondisi alamnya memiliki bukit berada di sebelah selatan antara desa Kimak
dan Baturusa. Dari desa Kimak,
perjalanan menuju Balujijuk ditempuh dengan jalan setapak melintasi
hutan melalui sungai, desa Limbung dan
desa Jadabarin hingga di kawasan perbukitan hutan Jelutung. Sedangkan tumbuhan yang banyak tumbuh berupa
pohon seru, ulin, medang, meranti
terentang enau, nira, duren,
duku, cempedak, manggis, dll. Tdak jauh berbeda dengan hutan yang ada di
Sumatera dan Kalimantan. Pembukaan hutan tersebut dipelopori oleh dua tokoh masyarakat yang pemberani dari desa
Kimak yaitu akek Mail dan sahabatnya
akek Sureh diperkirakan antara tahun 1910 sampai 1915 ladang yang baru
dibuka tersebut belum memungkinkan untuk dijadikan tempat
pemukiman penduduk. Dimana pada waktu itu masih merupakan pondok (rumah kebun)
yang dindingnya terbuat dari kulit kayu sedangkan atapnya terbuat dari daun Rumbia. Pada waktu itu, kebun dan hutan
merupakan sumber makanan, yang berlimpah untuk lauk mereka mendapatkan dengan
cara berburu binatang seperti pelanduk (kancil), kijang, rusa, burung dll. Akeh
Mail dan Akeh Sureh beserta teman-temannya setiap habis dari huma/hume (padi)
setiap pagi dan sore mereka beramai-ramai mandi di Lelap yang letaknya takjauh
dari jalan menuju desa Jadahbahrin. Lama-kelamaan
dari masyarakat seberang utara yaitu Kimak berduyun-duyun mencoba membuka hutan tersebut
untuk pertanian terutama padi Tugalan, Singkong, Ubi Jalar, Jagung dan palawija
lainnya yang digunakan untuk kebutuhan makan sehar-hari. Pembukaan lahan
sebagai pertanian kian berlanjut, kali ini dilakukan oleh tokoh masyarakat yang
berasal dari Baturusa yaitu H. Satar, dan
H. Suleh, yang membuka hutan
disebelah timur menjelang tahun 1918. Rute yang dilalui oleh kelompok masyarakat
yang berasal dari Baturusa ini, membuka jalan dari desa Pagarawan.
Lama-kelamaan dua kelompok masyarakat ini membaur, sekarang
ini bukti-bukti pembauran tersebut bila ditelusuru masih dapat ditemukan yaitu
untuk kelompok masyarakat dari Kimak tokoh-tokohnya antara laih adalah: H.
Sakni, H.Abdulah, H. Sahir, H.Yunus, Akek Pi’i, Akek Raye, dan Akek Mu’in. Anak
dan keturunannya mendominasi pemukiman
tempat tinggal di dusun II dan dusun III. Sedangkan untuk masyarakat
dusun I didominasi dari keturunan masyarakat yang berasal dari Baturusa. Kedua
kelompok masyarakat ini hidup secara rukun berdampingan dan saling menghargai
satu dengan yang lainnya. Sehingga pada perkembangannya kedua kelompok ini
terjadi pembauran dan melahirkan generasi baru. Lama-kelamaan komunitas ini
semakin bertambah sehingga berkembang menjadi perkampungan, sebelum menjadi
desa pada tahun 1926 terbentuklah Kampung Baru
yang diketuai Oleh Mat Ali (menurut catatan kecamatan Baturusa), pada
waktu itu penamaan masih beragam sebagian penduduk ada yang menamakan Sinar
Bukit dan Kampung Bukit dibawah pemerintahan desa Baturusa. Setelah masa
jabatan Mat Ali, ketua berikutnya adalah Abdul Rasak, Zamhur, Zarkum, dan yang
terahir adalah Mustar Yakub.
Tidak dapat dipungkiri lagi, dari pembauran kedua kelompok
masyarakat tersebut kianlama-kian bertambah, hingga pada perkembangannya begitu pesat, yang tadinya kampung telah meningkat menjadi Desa yaitu desa
Balunijuk yang resmi terbentuk pada Tanggal .....(menurut dokumen desa)
dikepalai oleh Abu Kasim sebagai Kades Pertama (Periode 1988-1993)
berikutnya Suhaimi (Perode 1993-1999), Pjs.Kades Burhan (Periode1998-1999),
Kades Abu Kasim ( Periode 1999-2004), Pjs.Kades Alinada (periode 2004-2005),
Kades Ahmad Arifin (Periode 2005-2011 dan 2011-2017).
Desa Balunijuk terdiri dari tiga pedusunan yaitu Dusun
I memiliki wilayah dari Line Listrik
PT.Timah sampai dengan drainase H.Ibrahim, untuk Dusun II dari drainese H. Ibrahim sampai dengan drainase H. Sulaiman, sedangkan Dusun III
dari drainase H.Sulaiman sampai ke SPN untuk arah barat, untuk arah utara
sampai dengan gerbang yang ada di depan Pesantren Jadabahrin dan sungai
Baturusa.
Penamaan desa Balunijuk Bukan tanpa alasan, mengingat setiap
pagi dan sore kegiatan masyarakat
terpusat di Lelap untuk mandi dan mencuci pakaian seperti sudah menjadi
tradisi yang secara turun-temurun
diwariskan oleh akek Mail dan sahabatnya akek Sureh. Di sekitar desa Balunjuk
banyak terdapat Lelap (sumber mata air) yang sering dimanfaatkan untuk mandi,
oleh penduduk setempat menamakannya Lelap sebagai tempat pemandian yang
dalam bahasa melayu Bangka disebut juga Munjang
atau Rawa/ Paya/Paye (Sumatera), Sendang (Jawa), Salah satunya adalah tempat lelap/munjang yang
didekatnya memiliki pohon Ulin
dan pohon Enau yang penduduk asli
menamakannya pohon Ijuk. Untuk menyebut tempat yang sering didatangi setiap hari sebagai tempat pemandian yang berada ditengah
desa itu penduduk menyebutnya munjang yang be-Ulin-Ijuk, kata” be “ dalam bahasa Bangka
mempunyai makna yang sama dengan “ber”
dalam bahasa Indonesia yang artinya
mempunyai atau memiliki, bila disebutkan secara cepat, kata tersebut menjadi Beulinijuk yang lama kelamaan menjadi Balunijuk, sehingga memiliki arti dalam
bahasa Bangka yang bertujuan untuk (mengataka
atau supaya mudah bila ada pertanyaan dari tetangga dimana beliau mandi atau
menggarap ladang, membuka lahan di lelap
be-pohon ulin dan pohon ijuk).
Pendapat lain mengatakan bahwa Balunijuk berasal kata Bulin
dan Ijuk yaitu pohon Bulin nama jenis kayu dalam bahasa melayu disebut juga
kayu Ulin, atau kayu Unglen (bahasa daerah Sumatera). Sedangkan Ijuk
Artinya batang Aren dalam bahasa Melayu
disebut juga pohon Enau kedua pohon tersebut berada di tengah lelap tempat
pemandian penduduk setempat, dimana terdapat pohon kayu bulin yang sudah
rebah/roboh, disitulah tumbuh pohon Ijuk. Sehingga dinamakan lelap Bulinijuk
yang lama-kelamaan menjadi kata Balunjuk
(ADES,2013).
Selain itu, ada yang berpendapat bahwa Balunijuk merupakan jenis kayu yang memang
tumbuh di lelap tersebut, konon kayu tersebut berdiameter lebih dari 1meter,
namun sekarang ini jenis kayu tersebut sudah tidak adalagi di daerah ini
(Balunijuk). Pernyataan ini bukan tanpa alasan mengingat di daerah Mendo
(Payabenua) konon mengatakan sebagian masyarakat ada yang masih mengenali
keberadaan dari jenis kayu ini.
Lelap atau tempat pemandian tersebut letaknya di tengah desa tepatnya 100 m arah
barat dari simpang Jadabahrin atau
sebelah kiri jalan menuju desa Airduren . Sekarang ini kedua pohon
tersebut sudah tidak ada lagi, hancur
dimakan usia. Seiirng dengan perkembangan zaman keberadaan munjang/lelap
dengan luas 25 m2 merupakan tempat untuk melakukan aktfitas mandi
dan mencuci pakaian, sehingga keberadaanya yang berada dipnggir jalan dirasa
terlalu terbuka, kemudian pada sekitar tahun 2005 dibangunlah tembok semen
mengellingi lelap tersebut. Selain itu juga di bangun sarana MCK yang
diperuntukan bagi masyarakat.
Makna
kata Balunijuk berasal dari kata
(be-Ulin-Ijuk) memiliki filosofi yang tinggi pada tatanan masyakat
melayu, dimana kayu Ulin merupakan kayu
yang kuat dan kokoh, tak lapuk kar na hujan dan tak lekang karna panas,
sedangkan Ijuk bersifat lurus berwarna hitam memiliki filosofi yang lurus dan
rahasia/misteri. Awalan Be (bermakna memiliki ), sehingga bila disatukan
Balunjuk memiliki arti kuat dan lurus. Kuat dalam hal pendirian gigih, pantang
menyerah, tetap tegar dalam prinsip. Lurus memiliki makna selalu perpijak pada
jalan yang lurus/benar tidak bertentangan dengan ajaran agama. Ijuk memiliki
warna hitam, pada tradisi masyarakat melayu digunakan sebagai penunjuk
untuk/dalam belajar dan atau membaca Al-Qur’an. Warna hitam menandakan suatu
misteri atau rahasia Allah yang harus dibaca dan dipelajari, serta
dipahami/diamalkan oleh manusia.
Jadi secara harfiah pada masyarakat
Balunijuk selalu memiliki jiwa dan sifat yang tegar, berani,
dan pantang menyerah, namun tetap memegang sendi-sendi ajaran agama yang kuat.
Selain itu jiwa yang tertanam pada masyarakat Balunijuk merupakan jiwa yang mau
belajar dan berusaha untuk membuka rahasia Allah melalui pendidikan dan
ilmupengetahuan.
Hal
ini dibuktikan dengan, di-era 80 hingga
90an banyaknya masyakat Balunijuk yang
mengirimkan pemuda-pemudinya untuk menempuh pendidikan agama di
pesantren-pesantren baik di Sumatra, Jawa, bahkan Kalimantan. Berdasarkan “Semangat Balunijuk”
itulah yang dimiliki oleh para pemimpin dan pemuka adat serta tokoh masyarakat
Balunijuk, sekarang ini telah berdiri
sarana pendidikan yang lengkap dari pendidkan usia dini (PAUD), SD,
Pesantren, Perguruan Tinggi Universitas Bangka Belitung (UBB) bahkan Sekolah
Polisi Negara (SPN) Air Buntet. Telah berdiri di desa Balunijuk. Jadi,
tidak-lah berlebihan apabila Pemerintah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung menetapkan Balunijuk sebagai daerah Pusat
Pendidikan.
Peletakan batu pertama pembangunan UBB
Konon, masyarakat
Balunijuk mulai menetap menjelang tahun 30an (perlu konfirmasi) hal ini
ditandai dengan adanya arsitektur rumah panggung yang semua bagiannya terbuat
dari kayu yang kini masih tersisa adalah rumah milik H. Pisah (mak Pisah)
bangunan rumah Limas yang kental dipengaruh oleh arsitektur khas melayu masih terlihat berdiri kokoh walaupun sudah
tidak dihuni lagi.Merupakan bangunan yang cukup megah pada zamannya.
Arsitektur
rumah tua lainnya dtemui di Balunijuk yaitu rumah kayu Pada bagian bawah (1m)
terbuat dari semen, sedangkan bagian rangka hingga diding terbuat dari kayu.
Bangunan ini diperkirakan dibangun pada tahun 60an Penduduk asli Balunijuk merupakan campuran
keturunan dari desa Kimak dan desa
Baturusa yang secara sengaja membuka
lahan untuk tujuan berladang di Balunijuk. Lama kelamaan masyarakat yang tadinya berladang di Balunijuk hingga
akhirnya menetap. Kedatangan orang – orang tersebut bertujuan menggarap tanah
untuk pertanian dan berladang. Jadi pada waktu itu pertanian jadi andalan.
Sampai
saat ini (2014) diperkirakan masyarakat Balunijuk telah memasuki era-generasi
ke-5. Seperti misalnya keturunan dari H. Satar dari Baturusa yang memiliki 7
orang anak yaitu Saidah, H. Wahid, Rofiah, Bujang Kalok, Juneid, Mawi, dan
Suaibah salah satu cucu dari H.Satar ini yaitu
Hj.Halimah. (72) anak dari Alm.
Suaibah. Sedangkan Saidah (85) dan
Rofiah (87) masih sehat tetapi sudah mengalami kesulitan untuk berkomunikasi
karna faktor usia.
Hasil-hasil kebun berupa sayuran dan buah
di-era 70an dipasarkan kepasar terdekat waktu itu Pasar Pangkalbalam (sekarang
Pasar Rumput Pengkalbalam) dengan menggunakan transportasi jalan kaki atau
sepeda. Pada era 80an kejayaan masyarakat Balunijuk mengandalkan hasil bumi
berupa lada, nanas dan karet, dimana pada masa itu harga karet memilki nilai
perbandingan tiga kalilipat dari harga beras. Melemahnya harga karet dan
meningkatnya hama menyebabkan gagal panen lada menjadikan masyarakat balunjuk
beralih ke pertanian sayuran. Dengan
perkembangan zaman lama-kelamaan pengiriman sayuran menggunakan mobil, penduduk
setempat menyebutnya Oto. Pengiriman sayuran seperti sawi, kacangpanjang,
terong, cabe, dll. Pernah mengalami masa keemasan di-era 2000an seiring dengan
masa kejayaan Penambangan Timah Rakyat (Tambang- Inkovensional) atau TI. Pada
masa itu pengiriman sayuran dilakukan keberbagai daerah di Bangka seperti
Belinyu, Jebus, Muntok dan Toboali.
Kuatnya ritual keagamaan yang melekat
dimasyarakat Balunijuk sampai sekarang
yang merupakan acara-acara ritual budaya peninggalan nenek moyang sebagai bagian
warisan budaya itu adalah warisan dari para alim ulama sebagai sumbernya, tapi
juga memang dari tradisi nenek moyang itulah yang sekarang masih dilestarikan.
Contohnya adalah Nganggung yaitu
membawa makanan yang terdiri dari nasi, sayur, lauk-pauk, dan buah yang dibawa
ke masjid, surau atau mushollah/langgar dengan
menggunakan Dulang atau Bintang untuk dimakan
bersama-sama. Nganggung umumnya merupakan
acara tradisi masyarakat Bangka “sepintu sedulang” yang dilakukan saat perayaan
hari raya baik acara Idul Fitri maupun acara Idul Ad’ha. Tradisi nganggung
diawali dengan membawa makanan dari
masng-masing rumah menuju ke mushollah
kemudian setelah terkumpul dilanjutkan dengan acara do’a sesuai dengan
perayaannya, setelah pembacaan do’a makanan tersebut disantap bersama-sama.
Suasana ikatan kebersamaan dan kekeluargaan tercermin dalam rasa nilai-nilai
keagamaan yang kuat. Dengan nikmatnya lempa darat dan lempa kuning
perlahan-lahan sirnanya rasa lapar dan
haus, tumbuh rasa senasip sepenangungan dan sepintu sedulang.
Kentalnya tradisi keagamaan di Balunijuk ditunjukkan
dengan adanya kegiatan nganggung yang tidakhanya dilakukan pada saat perayaan
hariraya saja, melaikan juga pada peringatan maulid nabi Muhammad SAW, perayaan
Satu Muharam, buka Puasa Enam (dilaksanakan pada dua minggu dari Idul fitri ), dan nujuhari
(hari ke-7 wafat). Khusus untuk peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Masyarakat
Balunijuk merayakannya dengan Hari Raya
Maulid Nabi Muhammad SAW. Uniknya pada perayaan itu suasana desa
macet total dipenuhi oleh berbagai pengunjung yang berdatangan
dari berbagai daerah seluruh Bangka perayaan yang unik dan cukup mewah terjadi
pada masing-masing rumah dimana tersedia makanan dan minuman yang boleh
dinkmati oleh siapa saja yang berkunjung baik dikenali ataupun tidak semua yang
datang tetap disuguhi berbagai makanan.
Keberadaan UBB sudah sepantasnya mendapatkan peranan yang besar dan dapat dirasakan oleh masyarakat Balunijuk terbukti salah satunya dengan diwujudkanya website desa Balunijuk yang dibuat oleh dosen dan mahasiswa Jurusan teknik Elektro dan telah resmi diserah terimakan pada kepala desa pada tanggal 21 Januari 2014 , mengenang 100 tahun Kampung Baru atau Kampung Sinar Bukit yang dirintis oleh akik Mail dan akik Sureh .(http://balunijuk.desa.id by MJI'2014)
Mantap Jang
BalasHapusKoreksi, umah panggung tertua tu di Balunijuk ukan punya H Pisah. Tapi HJ Ropisah asal selindung Lama. Suaminya H Muhammad Ali asal Baturusa. Kami cucu2 e. Kalau ngangkat cerita langsung dari sumber jgn satu keluarga saja. Hj ropisah kebetulan memiliki umur panjang sampai 100 tahun dan dikenal sebagai pukok kampung. Anaknya paman kami Arup umurnya sampai 90 tahun.
BalasHapushttps://bangka.tribunnews.com/amp/2016/07/08/rumah-panggung-tertua-di-balunijuk-ini-rayap-pun-tak-mampu-memakan-kayunya#aoh=15974701804952&referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.com&_tf=Dari%20%251%24s
BalasHapusMajulah desaku
BalasHapus